Yakin Kamu Orang Indonesia?

Cintai negerimu - simple dan sering kita dengar. Tapi apakah sudah benar-benar kita laksanakan? Eits, jangan bilang sudah, kalau belum baca ini.

The Richest Country All Over the World

Do you know who's the richest country in the world wide world? These country has everything that every country need. Check this out!

Degradasi Moral Remaja, Salah Siapa?

Salah siapa ya?? Kalo mau tau jawabannya, masuk duluuu...

Ramayana Alengka : Hanoman Sang Pembebas

Beginilah aksi heroik nan berani serdadu Anoman si kera putih dalam misinya menyelamatkan Sang Dewi Shinta dari cengkraman Rahwana untuk kembali ke pujaan hati Prabu Rama Wijaya. Mau tau lanjutannya?

What I Want is What I've Got

Make your own chance, cause chance is created not discovered. Remember, miracles happen everyday!


Saturday 17 November 2012

Cara Membaca Resistor


Kesempatan kali ini aku posting yang ringan-ringan aja yaa.. berhubung tugas kuliah menggunung jadi gak sempet posting. hehehe. Judulnya cara baca ring pada resistor berhubung banyak temen-temen yang masih pada bingung cara bacanya.. aku bantuin sebisaku deh yaa.. cekidot

Saturday 3 November 2012

Ketika Aku Menjadi Seorang Guru


Ditengah kerasnya bangsa ini, kriminalitas meningkat, korupsi membludak, tawuran merantak. Nyatanya masih banyak warga Indonesia lainnya yang peduli kepada nasib bangsa ini sebenarnya. Warga Indonesia yang benar-benar mengabdikan hidupnya untuk membangun pondasi-pondasi Negara yang kokoh. Agar tak terseret pola pikir yang runyam.

Miris sekali memang, diluar sana berteriak-teriak untuk memajukan pendidikan Indonesia, tapi tak ada dari mereka yang bersedia untuk menjadi seorang guru. Mungkin memang gaji seorang guru tidak lebih besar dibandingkan pengusaha sukses. Tapi dari tangan mereka lah lahir orang-orang besar yang kini telah sukses di dunianya.

Disini saya berbagi sebuah pengalaman berharga, yang mungkin membuka mata hati saya.
Suatu sore, saya berkumpul dengan teman-teman di kampus membicarakan sebuah acara yang akan berlangsung minggu depannya. Usainya, salah seorang senior mengajak saya mengikuti sebuah program kerja pendidikan IT* Mengajar yang menjadi proker BEM tiap minggunya.

Waktu itu saya lagi tidak ada tugas, jadi bolehlah bermain-main sedikit sambil melihat-lihat kota Surabaya yang sebenarnya. Saya lewati jalanan berliku, beberapa kawasan kumuh, jalan setapak, dan sungai yang kotor. Jujur saja, saya sedikit kaget. Ditengah kota Surabaya yang begitu megahnya, masih terdapat kawasan yang sangat memprihatinkan. Rumah yang bertumpuk-tumpuk.

Kami berhenti di sebuah gang kecil, banyak anak-anak kecil berlarian ketika kami datang. Nampaknya mereka sudah akrab dengan senior-senior saya, maklumlah saya baru saja bergabung, jadi tidak ada yang mengenal saya. Ternyata tugas kami disini adalah berperan sebagai guru, mengajari mereka sesuai dengan kelas masing-masing yang ditugaskan. Karena masih baru, saya mengajari anak kelas 1 SD. 

Boro-boro disuruh belajar, diajak duduk dan mendengarkan saja mereka mengelaknya setengah mati. Berbeda dengan kawasan kota memang, anak kecil seperti mereka sudah berjiwa materialistis. Tapi ini di kawasan kumuh, jiwa mereka benar-benar anak-anak yang maunya hanya bermain saja. Tapi dengan rayuan dan bujukan akhirnya saya bisa mengajari mereka, agak susah juga, bandelnya setengah mati. Tapi inilah yang dirasakan guru saya dulu, mengajari saya penuh kesabaran hingga saya berhasil seperti sekarang. Kuterapkan metode-metode menyenangkan, agar mereka tertarik belajar dan ilmunya tetap masuk. Ada beberapa anak yang memiliki kemampuan cepat menangkap pelajaran, ada pula yang nakal, ada yang diam, ada pula yang suka mengganggu temannya. Tapi mereka adalah anak-anak, tidak bisa dimarahi dan dikerasi. Yang saya lakukan hanya menegur dan memberitahu kesalahan mereka, mengajari mereka satu per satu, membuat sayembara dan memberikan hadiah.

Waktuku habis, saya ajak mereka berdoa agar pelajaran hari ini bermanfaat. Saya ajak bercanda sebentar lalu saya berpamitan pulang. Ditengah jalan saya merenung, betapa berharganya jasa seorang guru. Saya tidak dapat membayangkan bagaimana jadinya saya sekarang bila dulu tidak ada guru. Dan bagaimana nasib masa depan bila semua orang enggan menjadi guru, apabila semua memilih bekerja menjadi karyawan dsb. Lalu siapa yang akan mengajari bangsa ini. Saya tidak bertanya siapa yang mengajari matematika, fisika, kimia dan biologi karena suatu saat semua itu bisa dipelajari hanya lewat google. Tapi moral ,sopan santun dan etika, siapa yang mengajari???

Ini masih di Surabaya. Ya SURABAYA! Kota terbesar kedua di Indonesia. Bagaimana nasib mereka yang berada di pelosok hutan? Siapa yang mengajari? Belajar dari mana? Bagaimana yang ada di perbatasan? Masihkah mereka memilih Indonesia? Apabila pendidikan terdekat ada di Negara tetangga?

Dunia sekarang semakin kejam, orang tua banyak yang melalaikan perhatian ke anaknya karena sibuk dengan karirnya masing-masing. Sedang lingkungan semakin lama semakin tidak terkontrol. Bagaimana nasib bangsa jika semua hanya peduli pada material masing-masing dan tidak peduli pada generasi penerus? Teruskah kita menyalahkan pemerintah, sedang kita sendiri enggan bergerak? Lalu kapan Indonesia bisa maju? Bahkan Jepang berkali-kali memperolok kita dengan teknologinya, dan semua berkat guru. Karena ketika Jepang hancur, yang pertama ditanyakan kaisar adalah, "Berapa jumlah guru yang tersisa?"

Menjadi guru itu luar biasa.

Mungkin beberapa hanya bercerita bagaimana heroiknya guru, tapi enggan menjadi guru.

Mungkin beralasan karena tidak mengambil S1/S2 Pendidikan.

Ketahuilah, kami tidak peduli.

Menjadi seorang guru tidak memerlukan gelar apapun.

Hanya keikhlasan dan dedikasikan dirimu untuk anak-anak bangsa.

 


                                                                                                                                            

Friday 26 October 2012

Guruku, Pembangkit Asa-ku

3 tahun lalu, aku duduk di kelas 2 jurusan IPA di salah satu SMA mungil di tengah kota. Sempat terbersit kehampaan, bingung kemana aku akan mengarahkan masa depanku. Aku bukanlah seseorang yang luar biasa dan kemampuan hebatnya. Aku Dyah Apretta Rahmasari dan inilah kisahku.

Aku hanyalah seorang gadis berusia 16 tahun pada saat itu. Dengan kondisi ekonomi keluarga yang tidak berlebihan. Semenjak aku kelas 1 SMA. Aku selalu bermimpi melanjutkan pendidikanku kelak ke Perguruan Tinggi Negeri jurusan Teknik Elektro. Entah darimana asalnya keinginanku, aku hanya gadis kecil yang menyukai mainan-mainan elektronika. Sempat aku meminta bergabung dengan tim robot SMA dan bisa belajar dengan mereka-mereka yang telah sukses berbagai event dengan robotnya. Ingin sekali rasanya seperti mereka, membawa nama baik sekolah dalam event-event besar. Karena sekolahku waktu itu memang sedang bersinar dalam dunia robotika. Namun pada akhirnya keinginanku harus terkubur, karena aku perempuan mungkin dianggap lemah oleh beberapa tim lain sehingga harus digantikan dengan laki-laki lain yang masuk sebagai anggota tim.

Ketika aku duduk di kelas 3 SMA, aku semakin bingung untuk menentukan pilihanku. Aku tahu bahwa sebenarnya aku harus memilih sesuai dengan passionku. Tapi masuk kedalam jurusan Elektro dan menjadi mahasiswa Perguruan Tinggi Negeri bukanlah hal yang mudah. Passing grade yang harus dilewati, kemampuan berlogika yang tinggi, anak-anak cerdas, banyak yang meragukanku untuk bisa melampaui. Bahkan akupun bukan termasuk dalam ranking 50% teratas dikelas sehingga aku tidak berhak mengikuti SNMPTN Undangan. Hingga akhirnya aku mulai putus asa dan kucoba ikut-ikutan teman untuk mendaftar Perguruan-Perguruan Tinggi lain yang bukan minatku. Mulai dari PTK seperti STAN dan STIS sampai Perguruan Tinggi lain. Hingga aku tahu bahwa jiwa dan passion-ku memang berada di Teknik.

Hingga suatu saat guruku berkata padaku, “Setiap orang itu cerdas. Dan cita-cita itu tidak berdasarkan gender.  Saya percaya kamu bisa masuk situ (red: Teknik Elektro). Apa yang nggak bisa kamu lakukan?”
Aku mulai mengatur ulang mimpi-mimpiku, dukungan guru dan orang tua tak akan pernah ada habisnya. Kucatat setiap mimpi-mimpi yang ingin kucapai. Fokus terhadap apa yang kuingin dapatkan.

Hingga suatu saat ada selembar kertas formulir terakhir. Formulir pendaftaran ke Universitas Negeri. Kuambil dan kuisi semua data-data dengan riwayat dan mimpi-mimpiku. Bahkan yang membuatku terharu hingga saat ini, guruku sendiri lah yang mengantarku mengumpulkan selembar formulir terakhir ke Universitas tersebut. Dan beliau pulalah yang mengantarku wawancara, memberiku wejangan-wejangan, memberiku support penuh agar aku bisa melewatinya.

Namanya adalah Pak Bambang, guru Sosiologi. Guru yang tak pernah mengajarku, karena aku jurusan IPA dan beliau mengajar kelas 2 jurusan IPS. Tapi beliau tak pernah menyerah kepada murid-muridnya. Percaya bahwa kemampuan kami jauh diatas apa yang kami pikirkan.

23 Maret 2011, pengumuman penerimaan gelombang 1. Dari lima belas anak yang mendaftar dari sekolah kami. Hanya 2 anak yang diterima dan dinyatakan berhak menjadi mahasiswa PTN tersebut. Dari 300 anak yang mendaftar di jurusan tersebut di gelombang pertama, hanya 20 anak yang berhak dinyatakan lolos. Salah satunya adalah aku. YA AKU! Dari jurusan Elektronika departemen kelistrikan. Mengalahkan 300 orang pelajar lainnya. Dan seorang temanku perempuan lainnya, Putri di jurusan Desain Konstruksi departemen Permesinan.
Tak bisa dibayangkan bagaimana bahagianya guruku melihat siswinya berhasil. Aku lah siswa pertama di SMA ini yang berhasil masuk ke Perguruan Tinggi Negeri. Dan satu diantara dua murid yang lolos ke Perguruan Tinggi Negeri sebelum UNAS. Dan dengan jurusan yang selama ini mereka anggap remeh diriku. Semua berkat Allah, orangtua dan guruku tersayang yang selalu memberikan motivasi penuh. Tak pernah menyerah pada mimpi. Entah apa yang terjadi kini jika saja waktu itu tidak ada yang memberikan dukungan padaku.

Kini aku belajar di Teknik Otomasi Perguruan Tinggi Negeri di kota Surabaya selama 4 tahun. Menjadi bagian dari keluarga Teknik Otomasi yang selalu berprestasi. Belajar teknik kontrol-elektronika-informatika (mekatronika). Pekerjaan sehari-hari selalu berkutat dengan elektronika dan program. Menjadi sekretaris departemen Dalam Negeri Teknik Otomasi. Menjadi sekretaris umum Kegiatan Mahasiswa Robotika.

Hingga saat ini pun, aku masih tidak percaya bagaimana bisa seorang perempuan yang sering gagal, diremehkan dan tidak menonjol dikelas, kini menjadi calon insinyur elektro, yang banyak dosen bilang merupakan jurusan paling susah diantara jurusan lain di kampus ini karena banyak disiplin ilmu yang harus dikuasai.

Betapa besar pengorbanan guru-guruku, doanya, dan motivasinya bagiku tak akan bisa diungkap dengan kata. Setiap derap langkahnya memberikan semangat kepadaku. Mungkin hanya sebait doa yang bisa kupanjatkan untuknya. Doa tulus dari seorang murid yang hampir putus asa. Dari seorang gadis yang lemah. Dari seorang mahasiswa teknik.

Dan ingat satu kalimat sederhana yang bermakna,
“Mimpi tidak mengenal gender!”


Terimakasih Guruku. Inspirasiku. Motivator ulungku.
Guruku, Pahlawanku.

Saturday 13 October 2012

Nasionalisme Bangsaku Dilecehkan

miris se-miris mirisnya deh kalo bangsa sendiri dilecehkan, dijelek-jelekkan. Berbagai macam dan jenis kasus pelecehan bendera Merah Putih, lagu Indonsia Raya, dan Pancasila membuat saya pribadi berpikir, masihkah ada Nasionalisme dalam diri pemuda Indonesia masa depan?

Parahnya lagi, saya pernah melihat dengan mata sendiri. Teman saya yang tidak akan saya sebutkan namanya disini. Saat itu dia dihukum menyanyi dikelas karena terlambat, dan dia menyanyikan lagu Indonesia Raya. Ketika ditanya, alasannya biar Nasionalisme. Sejenak saya tertegun, separah itukah pemuda sekarang? Indonesia Raya merupakan lagu Indonesia yang paling sakral, tidak bisa dinyanyikan sembarangan. Harus terdapat beberapa objek dan kondisi sebagai penghormatan. Sedangkan di ruangan tidak ada bendera Merah Putih, Garuda Pancasila bahkan foto presiden, dan mereka menyanyikan lagu Indonesia Raya dengan bercanda tawa tidak serius dengan alasan Nasionalisme?

Ada semacam rasa sakit di hati saya, bagaimana pahlawan bangsa berusaha menciptakan lagu Indonesia Raya (red: W.R Soepratman) secara sembunyi-sembunyi agar tidak ketahuan Belanda. Beliau menciptakan bait demi bait dengan harapan lagu ini dapat dikumandangkan pertama kali pada tanggal 28 Oktober 1928. Walaupun pada akhirnya Belanda tahu, dan mengejar-ngejarnya karena telah berkhianat kepada kolonial Belanda. (karena pada saat itu beliau bersekolah di sekolah Belanda). Dan kini lagu Indonesia Raya dengan mudahnya dikumandangkan begitu saja, bahkan di upacara bendera lagu Indonesia Raya hanya sebagai formalitas kenaikan bendera Merah Putih. Tak banyak yang menghiraukannya. Lebih banyak yang bersikap acuh, bercanda tertawa.

Dan kini kita berharap kalau Indonesia Raya bisa dikumandangkan di negara lain? sedangkan kita sendiri meremahkan lagu Indonesia Raya di negeri sendiri.

Nasionalisme bukan tentang menyanyikan Indonesia Raya disembarang tempat. 
Nasionalisme bukan tentang mengejek negara lain.
Nasionalisme bukan tentang hanya belajar sejarah.
Nasionalisme bukan tentang merakit bom untuk tindakan penyelamatan.

Nasionalisme tentang menghargai Indonesia Raya, dan memahami maknanya.
Nasionalisme tentang menghargai bangsa dan membuatnya dilihat negara lain.
Nasionalisme tentang memahami sejarah dan meneruskan tujuan pahlawan membesarkan nama Indonesia.
Nasionalisme tentang belajar, beprestasi dan mengharumkan nama Indonesia.

Tolong jangan salah artikan makna Nasionalisme!

Wednesday 22 August 2012

Ramayana : Hanoman sang Pembebas


Dengan gerakan lincah dan cekatan, Anoman meloncat dari satu pohon ke pohon lain di Taman Argasoka yang sejuk dan rindang. Mulutnya tergagap-gagap melantunkan sepotong puisi sentimentil. Maklum, sebagai serdadu, selama ini lidahnya hanya fasih menerjemahkan komando atasan. Meski demikian, vokal sember itu mampu membikin dada Dewi Shinta berdebar-debar. Teringat sosok lelaki flamboyan yang sudah lama dirindukannya; Sri Rama. Trijata, putri Alengka yang diberi tugas membujuk Dewi Shinta agar mau melayani nafsu bejat Rahwana pun tak sanggup menyembunyikan perasaan haru.

“Oh … Sri Rama, junjungan hamba yang sedang berduka. Betapa malang nasib Paduka, memburu sang permaisuri yang tak jelas rimbanya. Gunung didakinya, jurang dituruninya, lurah dijenguknya, sungai diseberanginya, semata-mata demi Putri Shinta. Kini, di Argasoka, sang Putri berada dalam cengkeraman Rahwana.”


Sambil meloncat ringan dari pohon nagasari yang rimbun, bibir Anoman terus berpuisi ria mengabarkan keberadaan Sri Rama yang waswas memikirkan keselamatan Dewi Shinta. Untuk meyakinkan benar-benar duta Sri Rama, Anoman menyerahkan sebuah cincin kepada Dewi Shinta. Dengan tangan gemetar, perempuan sintal itu mengusap permata cincin yang tiba-tiba bersinar cemerlang. Seketika tubuhnya mengigil dahsyat. Wajahnya kian memucat. Air matanya mengalir menganak sungai, tak sanggup menahan arus perasaan yang membobol dinding nuraninya. Saat Shinta memasang cincin itu ke jari manisnya, lubang cincin itu teramat longgar, demikian pula saat dikenakan di jari tengah dan ibu jarinya. Kini, Anoman tahu, selama di Alengka permaisuri junjungannya itu benar-benar hidup dalam kubangan penderitaan. Dengan perasaan haru, Anoman menyampaikan tekad Sri Rama untuk membebaskan Putri Shinta dari cengkeraman Rahwana.

“Terimakasih saya haturkan sebab menyampaikan kabar Kangmas Sri Rama kepada Shinta!” ujar Shinta dengan vokal lirih nyaris tak terdengar. Anoman manggut-manggut sambil memusatkan kepekaan telinganya. Tiba-tiba terdengar derap langkah sepatu laras menuju ke Taman Argasoka. Jelas, itu suara barisan prajurit Alengka. Dengan terbata-bata, Shinta meminta Anoman segera meninggalkan taman setelah memberikan tusuk konde Cundomanik dan sepucuk surat untuk Sri Rama.
 
“Janganlah engkau lupa sampaikan tusuk konde bersama surat ini kepada Kangmas Sri Rama. Sampaikan pula suara hati Shinta yang teramat rindu!” pesan sang Putri untuk yang terakhir kalinya dengan tenggorokan tercekat. Tanpa menjawab, Anoman segera meluncur meninggalkan Taman Argasoka. Trijata yang berubah menaruh empati terhadap penderitaan Shinta, terkagum-kagum atas keberanian Anoman yang dapat menerobos barikade pasukan Alengka. Sepasang matanya yang bening tak berkedip menyaksikan ketangkasan Anoman meliuk-liuk di atas pepohonan hingga lenyap di balik tembok taman.

Misi Anoman untuk mengetahui keberadaan Shinta tuntas dilaksanakan. Namun, masih ada satu misi yang mesti dia lakukan; menguji kekuatan Alengka. Kabar yang gencar dilansir berbagai media, pasukan Alengka dikenal sangat militan dan dilengkapi dengan senjata supercanggih, bukanlah isapan jempol. Anoman telah merasakan betapa dahsyatnya kekuatan Angkatan laut Alengka. Hampir saja dia menjadi korban keganasan Tatakini dan Wilkataksini, serdadu Angkatan Laut Alengka yang memiliki “jam selam” nggegirisi. Beruntung dia memiliki senjata Cupumanik Astagina, sehingga mampu melumpuhkan prajurit kejam dan sadis itu.

Kini, Anoman hendak menguji kekuatan tempur pasukan Alengka yang sesungguhnya. Dengan cekatan, dia segera membikin ulah yang menggegerkan semua penghuni istana. Pepohonan di sekitar istana dicabuti. Tembok tebal Taman Argasoka dihancurkan. Suasana hiruk-pikuk. Semua penghuni istana berhamburan keluar, menyaksikan ulah seekor kera putih yang tengah bikin keonaran. Dua batalyon prajurit bertubuh raksasa dan berwajah angker dengan senjata supercanggih segera terjun ke gelanggang. Hanya dengan sekali komando, ribuan timah panas melesat merajam tubuh Anoman. Namun, dengan tangkas, Anoman meliuk-liuk dan menukik ke udara. Tak satu pun peluru menyentuh kulitnya. Para prajurit Alengka semakin bernafsu meringkusnya.

Melihat situasi makin gawat, Anoman melolos senjata Cupumanik Astagina. Setelah ber-tiwikrama beberapa detik, tiba-tiba tubuhnya berubah menjadi raksasa dengan kekuatan berlipat-lipat. Para serdadu Alengka terbengong-bengong. Dengan cepat, Anoman mencabut pohon nagasari tua yang masih tersisa, lantas dijadikan senjata untuk melabrak ribuan prajurit Alengka yang mengepungnya. Hanya dengan sekali gebrak, ratusan prajurit tewas dengan tubuh remuk-bubuk. Teriakan dan pekik histeris membahana.
Ulah Anoman kian menjadi-jadi. Sudah ribuan prajurit menjadi korban keganasannya. Hal itu membuat Saksadewa, putra kesayangan Rahwana, gusar. Dengan langkah berat, dia melolos senjata Gandrasa yang konon mampu menyemburkan gas beracun. Namun, sekali lagi, Saksadewa dibikin panik. Anoman dapat berkelit, bahkan di luar dugaan tiba-tiba mencabut sebatang pohon raksasa, lantas dengan kekuatan penuh dihantamkan telak ke kepala Saksadewa. Tak ayal, tengkorak kepala Saksadewa hancur berkeping-keping. Tewas.

Kematian Saksadewa yang mengenaskan menyebabkan Indrajit, putra sulung Rahwana, marah besar. Tanpa basa-basi, dia meloncat ke atas Yaksa Singa, kendaraan berlapis baja yang konon pernah memorak-porandakan Kahyangan. Dengan penuh nafsu, Indrajit melabrak Anoman yang berdiri santai di bawah pohon yang rimbun. Namun, Anoman kembali dapat menjinakkannya. Dengan cekatan, dia mencabut sebatang pohon, menghantamkannya secara telak ke perut Yaksa Singa. Tak pelak, kendaraan berlapis baja itu hancur berantakan. Tubuh Indrajit terpelanting ke udara. Dihinggapi rasa penasaran dan kepanikan, Indrajit melepaskan panah Trisula. Akan tetapi, anak panah itu dijinakkan dan dipatahkan menjadi beberapa potong. Indrajit geleng-geleng. Dia melolos senjata pamungkasnya, panah Nagageni, yang pernah membikin Dewa Indra kelimpungan menghadapinya. Secepat kilat, panah Nagageni meluncur, mendesis, dan menyala merah. Kali ini, Indrajit bisa bernapas lega. Panah itu menembus paha kiri Anoman yang telah berubah wujud menjadi kera putih. Merasa belum puas, Indrajit melepaskan panah Nagapasa. Luar biasa. Panah itu mendadak berubah menjadi naga raksasa yang mengerikan, dan dengan cepat membelit tubuh Anoman. Kera putih itu benar-benar tak berdaya. Para prajurit Alengka yang selamat dari amukan Anoman bersorak-sorak, mengelu-elukan Indarjit.

Namun, sebenarnya hal itu hanya sekadar taktik bagi Anoman agar bisa bertemu dengan Rahwana. Taktiknya sukses. Anoman segera diserahkan kepada Rahwana. Di hadapan penguasa lalim itulah, Anoman melampiaskan rasa muaknya dengan setumpuk caci-maki dan sumpah-serapah.

“Sungguh, tiada langgeng kekuasaan rezim yang suka menculik, pengecut, bermoral rendah, tanpa rasa malu. Penguasa busuk macam engkau yang selalu mengklaim diri didukung banyak kalangan, lambat tapi pasti kekuatan koalisi itu akan berbalik menghantam dirimu. Tidak percaya? Buktikan saja!” ledek Anoman memancing amarah Rahwana. Tentu saja yang diledek murka. Tangannya menggebrak meja berukiran indah hingga hancur berkeping-keping.

“Keparat! Kubunuh kau monyet tak berupa!” Hampir saja kepalan tangannya yang kukuh menghantam wajah Anoman, tapi dapat dicegah Wibisana. Amarah Rahwana tak juga reda. Rezim diktator itu segera memerintahkan prajuritnya untuk membakar Anoman hidup-hidup.

Peristiwa yang amat tragis itu pun tak bisa dhindari. Di tengah alun-alun, ribuan penduduk dan prajurit Alengka menyaksikan tubuh Anoman dilalap si jago merah. Namun aneh. tiba-tiba saja di tengah bara api yang menjilat langit itu, dengan tangkas Anoman melenting ke udara sambil membawa seunggun api, lantas menyebarkannya ke segenap penjuru Alengka. Angin kemarau yang kencang bertiup membikin bara api kian dahsyat meluluhlantakkan seisi kota. Suasana Alengka berubah kacau dan gempar.

Sementara itu, di Taman Argasoka, Dewi Shinta dicekam kepanikan memikirkan nasib Anoman. “Bagaimanakah nasib serdadu Anoman? apakah dirinya tertangkap?” bisiknya dalam hati. Namun, kepanikannya sirna setelah menyaksikan Anoman telah berdiri di sampingnya. Harapannya untuk bisa terbebas dari sekapan Rahwana kembali membayang di kepala. Baginya, Anoman dianggap sebagai sang pembebas yang akan membuka jalan bagi pengabdian hidup lahir batin kepada lelaki pujaannya, Sri Rama.
gbr. Sri Rama Wijaya dan Dewi Sinta



--Dx

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More