Friday 26 October 2012

Guruku, Pembangkit Asa-ku

3 tahun lalu, aku duduk di kelas 2 jurusan IPA di salah satu SMA mungil di tengah kota. Sempat terbersit kehampaan, bingung kemana aku akan mengarahkan masa depanku. Aku bukanlah seseorang yang luar biasa dan kemampuan hebatnya. Aku Dyah Apretta Rahmasari dan inilah kisahku.

Aku hanyalah seorang gadis berusia 16 tahun pada saat itu. Dengan kondisi ekonomi keluarga yang tidak berlebihan. Semenjak aku kelas 1 SMA. Aku selalu bermimpi melanjutkan pendidikanku kelak ke Perguruan Tinggi Negeri jurusan Teknik Elektro. Entah darimana asalnya keinginanku, aku hanya gadis kecil yang menyukai mainan-mainan elektronika. Sempat aku meminta bergabung dengan tim robot SMA dan bisa belajar dengan mereka-mereka yang telah sukses berbagai event dengan robotnya. Ingin sekali rasanya seperti mereka, membawa nama baik sekolah dalam event-event besar. Karena sekolahku waktu itu memang sedang bersinar dalam dunia robotika. Namun pada akhirnya keinginanku harus terkubur, karena aku perempuan mungkin dianggap lemah oleh beberapa tim lain sehingga harus digantikan dengan laki-laki lain yang masuk sebagai anggota tim.

Ketika aku duduk di kelas 3 SMA, aku semakin bingung untuk menentukan pilihanku. Aku tahu bahwa sebenarnya aku harus memilih sesuai dengan passionku. Tapi masuk kedalam jurusan Elektro dan menjadi mahasiswa Perguruan Tinggi Negeri bukanlah hal yang mudah. Passing grade yang harus dilewati, kemampuan berlogika yang tinggi, anak-anak cerdas, banyak yang meragukanku untuk bisa melampaui. Bahkan akupun bukan termasuk dalam ranking 50% teratas dikelas sehingga aku tidak berhak mengikuti SNMPTN Undangan. Hingga akhirnya aku mulai putus asa dan kucoba ikut-ikutan teman untuk mendaftar Perguruan-Perguruan Tinggi lain yang bukan minatku. Mulai dari PTK seperti STAN dan STIS sampai Perguruan Tinggi lain. Hingga aku tahu bahwa jiwa dan passion-ku memang berada di Teknik.

Hingga suatu saat guruku berkata padaku, “Setiap orang itu cerdas. Dan cita-cita itu tidak berdasarkan gender.  Saya percaya kamu bisa masuk situ (red: Teknik Elektro). Apa yang nggak bisa kamu lakukan?”
Aku mulai mengatur ulang mimpi-mimpiku, dukungan guru dan orang tua tak akan pernah ada habisnya. Kucatat setiap mimpi-mimpi yang ingin kucapai. Fokus terhadap apa yang kuingin dapatkan.

Hingga suatu saat ada selembar kertas formulir terakhir. Formulir pendaftaran ke Universitas Negeri. Kuambil dan kuisi semua data-data dengan riwayat dan mimpi-mimpiku. Bahkan yang membuatku terharu hingga saat ini, guruku sendiri lah yang mengantarku mengumpulkan selembar formulir terakhir ke Universitas tersebut. Dan beliau pulalah yang mengantarku wawancara, memberiku wejangan-wejangan, memberiku support penuh agar aku bisa melewatinya.

Namanya adalah Pak Bambang, guru Sosiologi. Guru yang tak pernah mengajarku, karena aku jurusan IPA dan beliau mengajar kelas 2 jurusan IPS. Tapi beliau tak pernah menyerah kepada murid-muridnya. Percaya bahwa kemampuan kami jauh diatas apa yang kami pikirkan.

23 Maret 2011, pengumuman penerimaan gelombang 1. Dari lima belas anak yang mendaftar dari sekolah kami. Hanya 2 anak yang diterima dan dinyatakan berhak menjadi mahasiswa PTN tersebut. Dari 300 anak yang mendaftar di jurusan tersebut di gelombang pertama, hanya 20 anak yang berhak dinyatakan lolos. Salah satunya adalah aku. YA AKU! Dari jurusan Elektronika departemen kelistrikan. Mengalahkan 300 orang pelajar lainnya. Dan seorang temanku perempuan lainnya, Putri di jurusan Desain Konstruksi departemen Permesinan.
Tak bisa dibayangkan bagaimana bahagianya guruku melihat siswinya berhasil. Aku lah siswa pertama di SMA ini yang berhasil masuk ke Perguruan Tinggi Negeri. Dan satu diantara dua murid yang lolos ke Perguruan Tinggi Negeri sebelum UNAS. Dan dengan jurusan yang selama ini mereka anggap remeh diriku. Semua berkat Allah, orangtua dan guruku tersayang yang selalu memberikan motivasi penuh. Tak pernah menyerah pada mimpi. Entah apa yang terjadi kini jika saja waktu itu tidak ada yang memberikan dukungan padaku.

Kini aku belajar di Teknik Otomasi Perguruan Tinggi Negeri di kota Surabaya selama 4 tahun. Menjadi bagian dari keluarga Teknik Otomasi yang selalu berprestasi. Belajar teknik kontrol-elektronika-informatika (mekatronika). Pekerjaan sehari-hari selalu berkutat dengan elektronika dan program. Menjadi sekretaris departemen Dalam Negeri Teknik Otomasi. Menjadi sekretaris umum Kegiatan Mahasiswa Robotika.

Hingga saat ini pun, aku masih tidak percaya bagaimana bisa seorang perempuan yang sering gagal, diremehkan dan tidak menonjol dikelas, kini menjadi calon insinyur elektro, yang banyak dosen bilang merupakan jurusan paling susah diantara jurusan lain di kampus ini karena banyak disiplin ilmu yang harus dikuasai.

Betapa besar pengorbanan guru-guruku, doanya, dan motivasinya bagiku tak akan bisa diungkap dengan kata. Setiap derap langkahnya memberikan semangat kepadaku. Mungkin hanya sebait doa yang bisa kupanjatkan untuknya. Doa tulus dari seorang murid yang hampir putus asa. Dari seorang gadis yang lemah. Dari seorang mahasiswa teknik.

Dan ingat satu kalimat sederhana yang bermakna,
“Mimpi tidak mengenal gender!”


Terimakasih Guruku. Inspirasiku. Motivator ulungku.
Guruku, Pahlawanku.

0 comments:

Post a Comment

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More