Ditengah kerasnya bangsa ini, kriminalitas meningkat,
korupsi membludak, tawuran merantak. Nyatanya masih banyak warga Indonesia
lainnya yang peduli kepada nasib bangsa ini sebenarnya. Warga Indonesia yang
benar-benar mengabdikan hidupnya untuk membangun pondasi-pondasi Negara yang
kokoh. Agar tak terseret pola pikir yang runyam.
Miris sekali memang, diluar sana berteriak-teriak untuk
memajukan pendidikan Indonesia, tapi tak ada dari mereka yang bersedia untuk
menjadi seorang guru. Mungkin memang gaji seorang guru tidak lebih besar
dibandingkan pengusaha sukses. Tapi dari tangan mereka lah lahir orang-orang
besar yang kini telah sukses di dunianya.
Disini saya berbagi sebuah pengalaman berharga, yang mungkin
membuka mata hati saya.
Suatu sore, saya berkumpul dengan teman-teman di kampus
membicarakan sebuah acara yang akan berlangsung minggu depannya. Usainya, salah
seorang senior mengajak saya mengikuti sebuah program kerja pendidikan IT*
Mengajar yang menjadi proker BEM tiap minggunya.
Waktu itu saya lagi tidak ada tugas, jadi bolehlah
bermain-main sedikit sambil melihat-lihat kota Surabaya yang sebenarnya. Saya
lewati jalanan berliku, beberapa kawasan kumuh, jalan setapak, dan sungai yang
kotor. Jujur saja, saya sedikit kaget. Ditengah kota Surabaya yang begitu
megahnya, masih terdapat kawasan yang sangat memprihatinkan. Rumah yang
bertumpuk-tumpuk.
Kami berhenti di sebuah gang kecil, banyak anak-anak kecil
berlarian ketika kami datang. Nampaknya mereka sudah akrab dengan senior-senior
saya, maklumlah saya baru saja bergabung, jadi tidak ada yang mengenal saya.
Ternyata tugas kami disini adalah berperan sebagai guru, mengajari mereka
sesuai dengan kelas masing-masing yang ditugaskan. Karena masih baru, saya
mengajari anak kelas 1 SD.
Boro-boro disuruh belajar, diajak duduk dan mendengarkan saja
mereka mengelaknya setengah mati. Berbeda dengan kawasan kota memang, anak
kecil seperti mereka sudah berjiwa materialistis. Tapi ini di kawasan kumuh,
jiwa mereka benar-benar anak-anak yang maunya hanya bermain saja. Tapi dengan
rayuan dan bujukan akhirnya saya bisa mengajari mereka, agak susah juga,
bandelnya setengah mati. Tapi inilah yang dirasakan guru saya dulu, mengajari
saya penuh kesabaran hingga saya berhasil seperti sekarang. Kuterapkan
metode-metode menyenangkan, agar mereka tertarik belajar dan ilmunya tetap
masuk. Ada beberapa anak yang memiliki kemampuan cepat menangkap pelajaran, ada
pula yang nakal, ada yang diam, ada pula yang suka mengganggu temannya. Tapi
mereka adalah anak-anak, tidak bisa dimarahi dan dikerasi. Yang saya lakukan
hanya menegur dan memberitahu kesalahan mereka, mengajari mereka satu per satu,
membuat sayembara dan memberikan hadiah.
Waktuku habis, saya ajak mereka berdoa agar pelajaran hari
ini bermanfaat. Saya ajak bercanda sebentar lalu saya berpamitan pulang.
Ditengah jalan saya merenung, betapa berharganya jasa seorang guru. Saya tidak
dapat membayangkan bagaimana jadinya saya sekarang bila dulu tidak ada guru.
Dan bagaimana nasib masa depan bila semua orang enggan menjadi guru, apabila
semua memilih bekerja menjadi karyawan dsb. Lalu siapa yang akan mengajari
bangsa ini. Saya tidak bertanya siapa yang mengajari matematika, fisika, kimia
dan biologi karena suatu saat semua itu bisa dipelajari hanya lewat google. Tapi
moral ,sopan santun dan etika, siapa yang mengajari???
Ini masih di Surabaya. Ya SURABAYA! Kota terbesar kedua di
Indonesia. Bagaimana nasib mereka yang berada di pelosok hutan? Siapa yang
mengajari? Belajar dari mana? Bagaimana yang ada di perbatasan? Masihkah mereka
memilih Indonesia? Apabila pendidikan terdekat ada di Negara tetangga?
Dunia sekarang semakin kejam, orang tua banyak yang
melalaikan perhatian ke anaknya karena sibuk dengan karirnya masing-masing.
Sedang lingkungan semakin lama semakin tidak terkontrol. Bagaimana nasib bangsa
jika semua hanya peduli pada material masing-masing dan tidak peduli pada
generasi penerus? Teruskah kita menyalahkan pemerintah, sedang kita sendiri enggan bergerak? Lalu kapan Indonesia bisa maju? Bahkan Jepang berkali-kali memperolok kita dengan teknologinya, dan semua berkat guru. Karena ketika Jepang hancur, yang pertama ditanyakan kaisar adalah, "Berapa jumlah guru yang tersisa?"
Menjadi guru itu luar biasa.
Mungkin beberapa hanya bercerita bagaimana heroiknya guru,
tapi enggan menjadi guru.
Mungkin beralasan karena tidak mengambil S1/S2 Pendidikan.
Ketahuilah, kami tidak peduli.
Menjadi seorang guru tidak
memerlukan gelar apapun.
0 comments:
Post a Comment