Saturday, 3 November 2012

Ketika Aku Menjadi Seorang Guru


Ditengah kerasnya bangsa ini, kriminalitas meningkat, korupsi membludak, tawuran merantak. Nyatanya masih banyak warga Indonesia lainnya yang peduli kepada nasib bangsa ini sebenarnya. Warga Indonesia yang benar-benar mengabdikan hidupnya untuk membangun pondasi-pondasi Negara yang kokoh. Agar tak terseret pola pikir yang runyam.

Miris sekali memang, diluar sana berteriak-teriak untuk memajukan pendidikan Indonesia, tapi tak ada dari mereka yang bersedia untuk menjadi seorang guru. Mungkin memang gaji seorang guru tidak lebih besar dibandingkan pengusaha sukses. Tapi dari tangan mereka lah lahir orang-orang besar yang kini telah sukses di dunianya.

Disini saya berbagi sebuah pengalaman berharga, yang mungkin membuka mata hati saya.
Suatu sore, saya berkumpul dengan teman-teman di kampus membicarakan sebuah acara yang akan berlangsung minggu depannya. Usainya, salah seorang senior mengajak saya mengikuti sebuah program kerja pendidikan IT* Mengajar yang menjadi proker BEM tiap minggunya.

Waktu itu saya lagi tidak ada tugas, jadi bolehlah bermain-main sedikit sambil melihat-lihat kota Surabaya yang sebenarnya. Saya lewati jalanan berliku, beberapa kawasan kumuh, jalan setapak, dan sungai yang kotor. Jujur saja, saya sedikit kaget. Ditengah kota Surabaya yang begitu megahnya, masih terdapat kawasan yang sangat memprihatinkan. Rumah yang bertumpuk-tumpuk.

Kami berhenti di sebuah gang kecil, banyak anak-anak kecil berlarian ketika kami datang. Nampaknya mereka sudah akrab dengan senior-senior saya, maklumlah saya baru saja bergabung, jadi tidak ada yang mengenal saya. Ternyata tugas kami disini adalah berperan sebagai guru, mengajari mereka sesuai dengan kelas masing-masing yang ditugaskan. Karena masih baru, saya mengajari anak kelas 1 SD. 

Boro-boro disuruh belajar, diajak duduk dan mendengarkan saja mereka mengelaknya setengah mati. Berbeda dengan kawasan kota memang, anak kecil seperti mereka sudah berjiwa materialistis. Tapi ini di kawasan kumuh, jiwa mereka benar-benar anak-anak yang maunya hanya bermain saja. Tapi dengan rayuan dan bujukan akhirnya saya bisa mengajari mereka, agak susah juga, bandelnya setengah mati. Tapi inilah yang dirasakan guru saya dulu, mengajari saya penuh kesabaran hingga saya berhasil seperti sekarang. Kuterapkan metode-metode menyenangkan, agar mereka tertarik belajar dan ilmunya tetap masuk. Ada beberapa anak yang memiliki kemampuan cepat menangkap pelajaran, ada pula yang nakal, ada yang diam, ada pula yang suka mengganggu temannya. Tapi mereka adalah anak-anak, tidak bisa dimarahi dan dikerasi. Yang saya lakukan hanya menegur dan memberitahu kesalahan mereka, mengajari mereka satu per satu, membuat sayembara dan memberikan hadiah.

Waktuku habis, saya ajak mereka berdoa agar pelajaran hari ini bermanfaat. Saya ajak bercanda sebentar lalu saya berpamitan pulang. Ditengah jalan saya merenung, betapa berharganya jasa seorang guru. Saya tidak dapat membayangkan bagaimana jadinya saya sekarang bila dulu tidak ada guru. Dan bagaimana nasib masa depan bila semua orang enggan menjadi guru, apabila semua memilih bekerja menjadi karyawan dsb. Lalu siapa yang akan mengajari bangsa ini. Saya tidak bertanya siapa yang mengajari matematika, fisika, kimia dan biologi karena suatu saat semua itu bisa dipelajari hanya lewat google. Tapi moral ,sopan santun dan etika, siapa yang mengajari???

Ini masih di Surabaya. Ya SURABAYA! Kota terbesar kedua di Indonesia. Bagaimana nasib mereka yang berada di pelosok hutan? Siapa yang mengajari? Belajar dari mana? Bagaimana yang ada di perbatasan? Masihkah mereka memilih Indonesia? Apabila pendidikan terdekat ada di Negara tetangga?

Dunia sekarang semakin kejam, orang tua banyak yang melalaikan perhatian ke anaknya karena sibuk dengan karirnya masing-masing. Sedang lingkungan semakin lama semakin tidak terkontrol. Bagaimana nasib bangsa jika semua hanya peduli pada material masing-masing dan tidak peduli pada generasi penerus? Teruskah kita menyalahkan pemerintah, sedang kita sendiri enggan bergerak? Lalu kapan Indonesia bisa maju? Bahkan Jepang berkali-kali memperolok kita dengan teknologinya, dan semua berkat guru. Karena ketika Jepang hancur, yang pertama ditanyakan kaisar adalah, "Berapa jumlah guru yang tersisa?"

Menjadi guru itu luar biasa.

Mungkin beberapa hanya bercerita bagaimana heroiknya guru, tapi enggan menjadi guru.

Mungkin beralasan karena tidak mengambil S1/S2 Pendidikan.

Ketahuilah, kami tidak peduli.

Menjadi seorang guru tidak memerlukan gelar apapun.

Hanya keikhlasan dan dedikasikan dirimu untuk anak-anak bangsa.

 


                                                                                                                                            

0 comments:

Post a Comment

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More