3 tahun lalu, aku duduk di kelas 2
jurusan IPA di salah satu SMA mungil di tengah kota. Sempat terbersit
kehampaan, bingung kemana aku akan mengarahkan masa depanku. Aku
bukanlah seseorang yang luar biasa dan kemampuan hebatnya. Aku Dyah
Apretta Rahmasari dan inilah kisahku.
Aku hanyalah seorang gadis berusia 16
tahun pada saat itu. Dengan kondisi ekonomi keluarga yang tidak
berlebihan. Semenjak aku kelas 1 SMA. Aku selalu bermimpi melanjutkan
pendidikanku kelak ke Perguruan Tinggi Negeri jurusan Teknik Elektro.
Entah darimana asalnya keinginanku, aku hanya gadis kecil yang menyukai
mainan-mainan elektronika. Sempat aku meminta bergabung dengan tim robot
SMA dan bisa belajar dengan mereka-mereka yang telah sukses berbagai
event dengan robotnya. Ingin sekali rasanya seperti mereka, membawa nama
baik sekolah dalam event-event besar. Karena sekolahku waktu itu memang
sedang bersinar dalam dunia robotika. Namun pada akhirnya keinginanku
harus terkubur, karena aku perempuan mungkin dianggap lemah oleh
beberapa tim lain sehingga harus digantikan dengan laki-laki lain yang
masuk sebagai anggota tim.
Ketika aku duduk di kelas 3 SMA, aku
semakin bingung untuk menentukan pilihanku. Aku tahu bahwa sebenarnya
aku harus memilih sesuai dengan passionku. Tapi masuk kedalam jurusan Elektro dan menjadi mahasiswa Perguruan Tinggi Negeri bukanlah hal yang mudah. Passing grade
yang harus dilewati, kemampuan berlogika yang tinggi, anak-anak cerdas,
banyak yang meragukanku untuk bisa melampaui. Bahkan akupun bukan
termasuk dalam ranking 50% teratas dikelas sehingga aku tidak berhak
mengikuti SNMPTN Undangan. Hingga akhirnya aku mulai putus asa dan
kucoba ikut-ikutan teman untuk mendaftar Perguruan-Perguruan Tinggi lain
yang bukan minatku. Mulai dari PTK seperti STAN dan STIS sampai
Perguruan Tinggi lain. Hingga aku tahu bahwa jiwa dan passion-ku memang berada di Teknik.
Hingga suatu saat guruku berkata padaku,
“Setiap orang itu cerdas. Dan cita-cita itu tidak berdasarkan gender.
Saya percaya kamu bisa masuk situ (red: Teknik Elektro). Apa yang nggak bisa kamu lakukan?”
Aku mulai mengatur ulang mimpi-mimpiku,
dukungan guru dan orang tua tak akan pernah ada habisnya. Kucatat setiap
mimpi-mimpi yang ingin kucapai. Fokus terhadap apa yang kuingin
dapatkan.
Hingga suatu saat ada selembar kertas
formulir terakhir. Formulir pendaftaran ke Universitas Negeri. Kuambil
dan kuisi semua data-data dengan riwayat dan mimpi-mimpiku. Bahkan yang
membuatku terharu hingga saat ini, guruku sendiri lah yang mengantarku
mengumpulkan selembar formulir terakhir ke Universitas tersebut. Dan
beliau pulalah yang mengantarku wawancara, memberiku wejangan-wejangan,
memberiku support penuh agar aku bisa melewatinya.
Namanya adalah Pak Bambang, guru
Sosiologi. Guru yang tak pernah mengajarku, karena aku jurusan IPA dan
beliau mengajar kelas 2 jurusan IPS. Tapi beliau tak pernah menyerah
kepada murid-muridnya. Percaya bahwa kemampuan kami jauh diatas apa yang
kami pikirkan.
23 Maret 2011, pengumuman penerimaan
gelombang 1. Dari lima belas anak yang mendaftar dari sekolah kami.
Hanya 2 anak yang diterima dan dinyatakan berhak menjadi mahasiswa PTN
tersebut. Dari 300 anak yang mendaftar di jurusan tersebut di gelombang pertama, hanya 20 anak yang berhak dinyatakan lolos. Salah satunya adalah aku. YA AKU! Dari jurusan Elektronika
departemen kelistrikan. Mengalahkan 300 orang pelajar lainnya. Dan seorang temanku perempuan lainnya, Putri di
jurusan Desain Konstruksi departemen Permesinan.
Tak bisa dibayangkan bagaimana
bahagianya guruku melihat siswinya berhasil. Aku lah siswa pertama di
SMA ini yang berhasil masuk ke Perguruan Tinggi Negeri. Dan satu
diantara dua murid yang lolos ke Perguruan Tinggi Negeri sebelum UNAS.
Dan dengan jurusan yang selama ini mereka anggap remeh diriku. Semua
berkat Allah, orangtua dan guruku tersayang yang selalu memberikan
motivasi penuh. Tak pernah menyerah pada mimpi. Entah apa yang terjadi
kini jika saja waktu itu tidak ada yang memberikan dukungan padaku.
Kini aku belajar di Teknik Otomasi
Perguruan Tinggi Negeri di kota Surabaya selama 4 tahun. Menjadi bagian dari keluarga Teknik Otomasi yang selalu berprestasi. Belajar teknik
kontrol-elektronika-informatika (mekatronika). Pekerjaan sehari-hari
selalu berkutat dengan elektronika dan program. Menjadi sekretaris departemen Dalam Negeri Teknik Otomasi. Menjadi sekretaris umum Kegiatan Mahasiswa Robotika.
Hingga saat ini pun, aku masih tidak
percaya bagaimana bisa seorang perempuan yang sering gagal, diremehkan
dan tidak menonjol dikelas, kini menjadi calon insinyur elektro, yang
banyak dosen bilang merupakan jurusan paling susah diantara jurusan lain
di kampus ini karena banyak disiplin ilmu yang harus dikuasai.
Betapa besar pengorbanan guru-guruku,
doanya, dan motivasinya bagiku tak akan bisa diungkap dengan kata.
Setiap derap langkahnya memberikan semangat kepadaku. Mungkin hanya
sebait doa yang bisa kupanjatkan untuknya. Doa tulus dari seorang murid
yang hampir putus asa. Dari seorang gadis yang lemah. Dari seorang
mahasiswa teknik.
Dan ingat satu kalimat sederhana yang bermakna,
“Mimpi tidak mengenal gender!”
Terimakasih Guruku. Inspirasiku. Motivator ulungku.
Guruku, Pahlawanku.